Selasa, 12 Juni 2018

Anti Monopoli Persaingan Tidak Sehat

Poster Tema :"Anti Monopoli Persaingan Tidak Sehat"






Kelas : 2EB07 

ANGGOTA KELOMPOK:

NURUL SHAFIRA (25216634)
MAHESSA ALIA ROSALINE (24216228)
NUZHAH YOKATTA PUTRA FIRM (25216650)

Senin, 16 April 2018

Penyelesaian Sangketa Masalah Ekonomi Dalam Mediasi

TUGAS SOFTSKILL
Aspek Hukum Dalam Ekonomi
“Penyelesaian Sangketa Masalah Ekonomi Dalam Mediasi”





Hasil gambar untuk gunadarma



Kelas : 2EB07
Dosen : Ibu Tuti




Kelomopok 8 :  1. Nurul Shafira
2. Mahessa Alia Rosaline
3. Nuzhah Yokatta Putra Firm






UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI – AKUNTANSI

Contoh Kasus tentang penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan masalah perekonomian secara mediasi

Pendahuluan
Perbankan merupakan bisnis kepercayaan. Integritas penyelenggara menjadi nilai jual paling unggul bagi perbankan untuk dapat mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali. Dalam perjalanannya, industri perbankan diwarnai dengan konsep syariah. Secara awam, masyarakat berasumsi dapat mengisi penuh pundi-pundi mereka dengan tangan kiri sekaligus menggenggam kunci surga dengan tangan kanan. Walhasil, animo masyarakat terhadap konsep ini membludak.
Patut diperhatikan, prestasi perekonomian syariah cukup membanggakan. Salah satu indikatornya adalah tingkat konflik yang relatif kecil. Dalam titik ini, konsep syariah patut diacungi jempol. Hanya sayang, polemik gadai emas syariah yang menimpa nasabah BRI seakan menghapus catatan baik perbankan syariah. Cap “syariah” semacam tidak cukup untuk membuktikan bahwa industri perbankan yang diawali dengan niat baik ini tidak menyimpang.
Penjualan paksa oleh Bank BRI terhadap emas nasabah berujung pada kerugian nasabah. Seolah tidak ada pintu dialog yang terbuka setelah beleid dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kasus ini seakan mengukuhkan pendapat kontra yang menganggap bahwa “jeroan” bank syariah tidak ada beda dengan bank konvensional. Sungguh memalukan.
Kasus “Gadai Emas BRI” ini merupakan murni kasus perdata. Hukum perdata memliki keunikan yaitu individu memegang peranan penting untuk mempertahankan atau tidak haknya, sepenuhnya tergantung dari kehendaknya sendiri (Scholten, 1993:34). Dalam hal ini jalur penyelesaian yang dapat ditempuh tidak semata litigasi tetapi juga non-litigasi.
Jalur litigasi mungkin nampak menarik dengan janji-janji manis pengacara untuk mememangkan hak kliennya. Romantika persidangan yang diwarnai perdebatan sengit para pihak. Proses pembuktian yang rumit dan mendebarkan mungkin dapat memadamkan rasa marah dan kecewa nasabah yang dirugikan. Namun apakah itu yang terbaik?
Contoh Kasus
Masalah Gadai Emas, BI akan panggil BRI Syariah
Bank Indonesia berencana akan memanggil Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) dan seniman Butet Kertaradjasa terkait masalah skema gadai emas. Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Edy Setiadi mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut BI akan mendengarkan penjelasan BRIS terkait kesalahpahaman yang terjadi.
“Bank Indonesia, dalam waktu dekat akan memanggil BRIS untuk memberikan penjelasan mengenai permasalahan kesalahpahaman antara BRIS dan nasabahnya,” kata Edy kepada VIVA news di Jakarta, Sabtu 15 September 2012. Sementara, untuk melakukan proses mediasi, Edy menambahkan, BI masih mempelajari permasalahan lebih lanjut. “BI akan mempelajari permasalahan tersebut terlebih dahulu sebelum melakukan tindak lanjutnya,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Gadai Emas, produk gadai di bank syariah, yang sempat dipermasalahkan Bank Indonesia, akhirnya menuai kasus. Seniman Butet Kartared jasa mengadukan produk gadai syariah Bank Rakyat Indonesia Syariah karena dianggap merugikan nasabah.
Butet menjadi nasabah gadai emas BRI Syariah di Yogyakarta pada Agustus 2011. Ia menggadaikan emasnya, dengan modal 10 persen dari keseluruhan harga emas, BRI Syariah memberikan pembiayaan sebesar 90 persen. Butet mencicil sejumlah uang yang dipersyaratkan.
Ketika jatuh tempo pada Desember 2011, nasabah diberikan opsi ketika harga emas turun nasabah diminta menanggung penurunan harga dari harga emas semula. Butet menolak opsi tersebut.
BRI Syariah juga memberikan opsi memperpanjang masa jatuh tempo sebanyak dua kali, namun kerugian penurunan harga tetap harus ditanggung Butet. BRI juga meminta emas yang dimiliki Butet dijual.
“Saya minta skema diperpanjang dalam tiga tahun, karena ketika harga emas naik silahkan dijual, jadi win-win solution,” ujar Butet.
BRI Syariah akhirnya menjual kepemilikan emas Butet dengan alasan hal itu sudah tercantum dalam perjanjian. Karena merasa menjadi korban, ia akan mengajukan class action.
Penyelesaiannya
Metode berkebun emas ini memang membutuhkan modal untuk membeli logam mulia pertama dan menyiapkan uang tunai untuk menutup selisih kekurangan harga pembelian logam mulia kedua hingga kelima. Sebagai ilustrasi, Anda membeli logam mulia seberat 10 gram yang langsung digadaikan. Jika uang gadai yang diberikan bank syariah sebesar 85%, dana yang diperoleh setara dengan 8.5 gram. Oleh sebab itu, ketika akan membeli logam mulia 10 gram kedua, perlu dana tambahan setara dengan logam mulia seberat 1.5 gram ditambah biaya penyimpanan logam mulia di bank syariah. Demikian seterusnya, hingga mencapai logam mulia yang dikehendaki. Setelah mencapai logam mulia terakhir, misalnya kelima, Anda sebaiknya menjual logam mulia tersebut. Tentunya ketika harga logam mulia sudah meningkat minimal 30%. Mengapa 30% ? kenaikan 30% ini diperlukan agar hasil penjualan dapat menutup biaya biaya gadai empat keeping logam mulia yang ada di bank syariah dan hasil penjulan logam mulia terakhir inilah yang dipergunakan untuk menebus empat keping logam mulia di bank syariah, saat inilah biasa disebut masa panen emas.
Kenaikan harga emas yang konsisten disebabkan oleh dua hal, pertama, konsumsi penduduk Indonesia terhadap logam mulia ada di peringkat 14 dunia (China ada diperingkat ke satu dan India ada di peringkat ke dua). Kedua, Indonesia adalah penghasil emas ketujuh terbesar didunia, jika permintaan emas terus bertambah, maka harga emas akan terus meningkat.
Jalur non-litigasi atau biasa disebut Alternative Dispute Settlement (ADS) menjadi opsi alternatif untuk penyelesaian sengketa yang sedang terjadi dalam masalah Gadai Emas. Oleh para sarjana, metode ini dianggap paling efektif untuk menyelesaikan sengketa bisnis karena biayanya relatif lebih murah daripada menggunakan jalur litigasi. Di Indonesia konsep alternatif penyelesaian sengketa sudah semakin familiar dengan UU No. 30 tahun 1999.
Spesifik untuk masalah perbankan, metode-metode jalan tengah sudah dimulai dengan terbitnya Peraturan BI No. 7/7/PBI/2005. Kemudian berubah dengan No. 8/5/PBI/2006, dan kini telah disempurnakan dengan Peraturan No. 10/1/PBI/2008. Intinya, dibuka kesempatan mediasi antara Bank dengan Nasabah dimana Bank Indonesia memfasilitasi mediasi ini.
Penelitian yang dilakukan oleh seorang dosen fakultas hukum UGM menunjukkan bahwa mediasi perbankan oleh Bank Indonesia cukup efektif. Untuk kurun waktu 2006 saja ada 85% kasus yang berhasil di mediasi dan meningkat pada 2007 menjadi 87% (Herliana, 2010:42). Ini menunjukkan bahwa penyelesaian tidak terus-menerus harus menggunakan litigasi.
Sangat disayangkan apabila polemik gadai emas ini merembet ke ranah hukum dan terpaksa harus diselesaikan di pengadilan. Tidak hanya akan mencoreng konsep syariah sebagai alternatif perekonomian, juga antipati masyarakat akan bertambah terhadap kegiatan perbankan. Tentu pengalaman pahit pada tahun 1998 – tatkala rush terjadi dan menyebabkan collapse industri perbankan tanah air – tidak ingin di ulangi. Caranya hanya satu yakni dengan tetap menjaga kepercayaan nasabah. Untuk itu, mediasi adalah pilihan terbaik.
Namun satu hal, pelaksanaan mediasi harus dilakukan sepenuh hati. Pengalaman dan pengamatan penulis menunjukkan bahwa hampir selalu mediasi gagal justru disebabkan mediator. Parsialitas dan kepongahan ekspertisme mediator menyulitkannya untuk menemukan dan menangkap keinginan para pihak. Mediator sepatutnya mengingat bahwa mediasi ada untuk mempertemukan kepentingan para pihak, bukan justru membenturkan kepentingan-kepentingan tersebut.
Sepatutnya polemik gadai emas syariah ini dipakai sebagai momentum untuk meletakkan pondasi penyelesaian sengketa perekonomian yang bermartabat dan dengan cara-cara kekeluargaan. Ini akan membawa pemahaman baru bahwa cap “syariah” tidak hanya untuk mencari nasabah. Lebih dalam lagi, konsep ke-syariah-an dibuktikan dengan adanya keinginan dan itikad baik mencari pemecahan yang win-win solution. Apabila mediasi berhasil, polemik hari ini akan menjadi preseden di tanah air bahwa mediasi telah menjadi kultur berbisnis dan menunjukkan bahwa produk-produk perbankan tanah air bukanlah produk bodong.
Metode Berkebun Emas merupakan sistem pengembangan investasi yang terus berevolusi. Saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang membeli Logam Mulia untuk kemudian disimpan hingga harga jualnya meningkat. Pada saat membutuhkan uang dadakan masyarakat juga terkadang menggadaikan logam mulia yang dimilikinya. Kini logam mulia yang digadaikan dapat “dikembangbiakan” agar menghasilkan logam-logam mulia baru dengan dua pertiga modal ditanggung oleh lembaga keuangan penyedia jasa gadai, seperti bank syariah.
Kita harus memilih lembaga gadai emas syariah yang menetapkan biaya gadai dan penitipan yang paling ringan, disamping itu perlu juga diperhatikan lembaga gadai yang memberikan dana gadai tertinggi agar dana tersebut dapat digunakan kembali untuk membeli logam mulia yang lebih besar dan tambahan dana yang dibutuhkan tidak terlalu memberatkan. Selain itu, juga perlu ditanyakan tentang skema pengamanannya. Ada beberapa lembaga gadai emas syariah memberlakukan biaya asuransi yang dibebankan langsung kepada konsumen, tetapi sebagian besar lainnya tidak tidak membebankan biaya asuransi khusus karena sudah termasuk dalam biaya administrasi.
Kesimpulan
Kita harus bisa memilih lembaga gadai emas syariah yang menetapkan biaya gadai dan penitipan yang paling ringan, disamping itu perlu juga diperhatikan lembaga gadai yang memberikan dana gadai tertinggi agar dana tersebut dapat digunakan kembali untuk membeli logam mulia yang lebih besar dan tambahan dana yang dibutuhkan tidak terlalu memberatkan. Selain itu, juga perlu ditanyakan tentang skema pengamanannya. Ada beberapa lembaga gadai emas syariah memberlakukan biaya asuransi yang dibebankan langsung kepada konsumen, tetapi sebagian besar lainnya tidak tidak membebankan biaya asuransi khusus karena sudah termasuk dalam biaya administrasi.
Saran
Saran saya , seharusnya pihak perbankan memperbaiki sistem syariah yg biasanya terjadi pada penanganan gadai emas. Dan Selain itu , pihak bank juga harus menjelaskan secara detail mengenai sistem gadainya dari awal sebelum nasabahnya memutuskan untuk menggadaikan emas miliknya kepada bank tersebut atau tidak dan bagi nasabah yang ingin menggadaikan emasnya juga harus bertanya kalau masih belum mengerti mengenai sistem gadainya yang sudah dijelaskan.
Kita harus jugs memilih lembaga gadai emas syariah yang menetapkan biaya gadai dan penitipan yang paling ringan, disamping itu perlu juga diperhatikan lembaga gadai yang memberikan dana gadai tertinggi agar dana tersebut dapat digunakan kembali untuk membeli logam mulia yang lebih besar dan tambahan dana yang dibutuhkan tidak terlalu memberatkan. Selain itu, juga perlu ditanyakan tentang skema pengamanannya. Ada beberapa dari lembaga gadai emas syariah memberlakukan biaya asuransi yang dibebankan langsung kepada konsumen, tetapi sebagian besar lainnya tidak tidak membebankan biaya asuransi khusus karena sudah termasuk dalam biaya administrasi.
masalah yang sering timbul adalah jika harga emas menurun, nasabah harus menanggung resiko untuk menjual emasnya yg harganya turun agar menutupi bunga yg di dapat dari nasabah yg tidak sama dengan harga emas yang sedang turun. Seharusnya pihak bank jangan terlalu khawatir mengenai harga emas yang turun dikarenakan grafik atau pertumbuhan suatu harga tidak selamanya naik keatas ada masanya dia akan turun kemudian naik lagi itu tergantung dari permintaan dan penawaran selain itu juga dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi yang sedang baik atau kurang baik. masalah ini sering terjadi karena cara kerja perbankan Syariah masih belum cukup membuat nasabah senang jika kerugian masih dianggap besar.
Kasus ke 2 :
INILAH.COM, jakarta – Selama periode 2011, Bank Indonesia (BI) mencatat kasus sengketa antara bank dengan nasabah di bidang sistem pembayaran, paling banyak didominasi sengketa kartu kredit.
Hal itu terjadi karena banyak kartu kredit yang hilang dan digunakan orang lain yang tidak berhak. Demikian disampaikan Ketua Tim Mediasi Perbankan Bank Indonesia, Sondang Martha Samosir dalam keterangan tertulis, Jumat (6/1).
“Data penyelesaian sengketa bank dengan nasabah tahun ini meningkat 83% dibandingkan tahun 2010 lalu. Dari total permohonan penyelesaian sengketa yang diterima pada tahun 2010 sebanyak 278 sengketa menjadi 510 kasus. Paling banyak di penyaluran dana 246 kasus dan sistem pembayaran 204 kasus,” kata Sondang.
Sondang menjelaskan bahwa di bidang penyaluran dana, permohonan penyelesaian sengketa didominasi dengan permohonan restrukturisasi kredit baik kredit konsumsi maupun kredit modal kerja.
Menurutnya, peningkatan permohonan meningkatnya informasi mengenai keberadaan dengan secara mediasi perbankan yang difasilitasi Bank Indonesia dikarenakan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap eksistensi Bank Indonesia terkait perlindungan nasabah.
Selain itu, kekurang pahaman nasabah mengenai karakteristik sengketa yang dapat dimediasi. Berikuat data lengkap BI terkait permohonan sengketa nasabah dengan bank: penyaluran dana 246 kasus, sistem pembayaran 206 kasus, penghimpunan dana 47 kasus, produk kerjasama 4 kasus, produk lainnya 4 kasus, di luar permasalahan produk perbanakan 3 kasus.
Sebenarnya, masyarakat dapat mengupayakan sengketanya dengan bank melalui Mediasi Perbankan. Namun masalah yang menjadi sengketa merupakan sengketa keperdataan antara nasabah dengan bank. Untuk nilai tuntutan finansial paling banyak Rp500 juta.
Selain itu nasabah atau pengadu juga tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga mediasi lainnya, Pernah diupayakan penyelesaiannya oleh bank (melalui mekanisme pengaduan nasabah), dan belum pernah diproses dalam mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
Kesimpulan dan saran :

Dalam kasus penyelesain sengkata mengenai kartu kredit ini seharusnya pihak pemerintah atau pihak bank dapat bertindak lebih bijaksana terhadap kasus-kasus sengketa karena nasabah yang mungkin masih awam dalam dunia perbankan sebaiknya pihak bank menghimbau agar nasabah lebih berhati-hati dalam menjaga kartu kreditnya dan seharusnya saat kartu kreditnya hilang segera lapor ke bank yang bersangkutan agar pihak bank bisa langsung memblokir atau menonaktifkan kartu kredit anda supaya orang yang menemukan atau mengambil kartu kredit tersebut tidak bisa menggunakan kartu kredit anda dan anda tidak harus membayar mahal biaya kartu kredit anda yang hilang dikarenakan digunakan oleh orang lain. Itu adalah solusi dan antisipasi yang cepat agar kartu anda tidak digunakan sembarangan saat kartu kredit anda hilang.
















Daftar Pustaka


Sumber :



Senin, 26 Maret 2018

“PERLINDUNGAN KONSUMEN ”


TUGAS SOFTSKILL
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
PERLINDUNGAN KONSUMEN

KELOMPOK 8

·         Nurul Shafira                          ( 25216634 )
·       
Kelas : 2EB07

Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika),atau consument/konsument (Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.  Amerika Serikat mengemukakan pengertian ”konsumen” yang berasal dari consumer berarti ”pemakai”, namun dapat juga diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai. Perancis berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang mengartikan konsumen sebagai ”the person who obtains goods or services for personal or family purposes”.
Dari definisi diatas terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.  India juga mendefinisikan konsumen dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen India yang menyatakan ”konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.
Istilah konsumen juga dapat kita temukan dalam peraturan perundangundangan Indonesia. Secara yuridis formal pengertian konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ”konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1] Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawakulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.


Azaz dan tujuan Konsumen
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional:
1.      Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2.      Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.

3.      Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.

4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.      Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen adalah:
1.      Hak atas kenyamanan. Keamanan, dam keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.      Hak untuk menapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama,, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya;
9.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
10.  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen adalah :
1.      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha adalah :
1.      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.      Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.      Hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.      Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha adalah :
1.      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.      Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3.      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5.      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan /atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.      Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
7.      Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfataan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
8.      Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pelaku usaha dilarang memproduksidan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.       Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.       Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.      Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.       Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.       Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.      Tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfataan yang paling baik atas barang tertentu; jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best before yang biasa digunakan dalam label produk makanan.
h.      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i.         Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,  ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j.        Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

        Pelaku usaha dilarang memperdagangkankan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Selain itu, Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Dan yang terakhir pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Menteri dan menteri teknis berwenang menariknya barang dan/atau jasa dari peredaran.

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a.       Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.      Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
c.       Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu;
d.      Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliansi;
e.       Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.       Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.      Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.      Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.        Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.        Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k.      Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

        Barang dan/atau jasa sebaimana dimaksud pada ayat diatas dilarang untuk diperdagangkandan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat diatas dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

  Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.       Harga atau tariff suatu barang dan/atau jasa;
b.      Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.       Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.      Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.       Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkankonsumen dengan:
a.       Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.      Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.       Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.      Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud barang yang lain; Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
e.       Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.       Menaikkan harga atau tarif barang/atau jasa sebelum melakukan obral.

   Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah ditawarkan, promosikan, atau diiklankan.

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankansuatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/atau jasa lain.
pelaku usaha dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberi hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a.       Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.      Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c.       Memberikan hadiah tidak sesuai yang diinginkan;
d.      Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang di janjikan.
e.       Pelakuusaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
f.       Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui
Sumber :


Anti Monopoli Persaingan Tidak Sehat

Poster Tema :"Anti Monopoli Persaingan Tidak Sehat" Kelas : 2EB07  ANGGOTA KELOMPOK: NURUL SHAFIRA (25216634) ...